Tari Dana – Dana
Add caption |
Tari dana-dana merupakan tari
pergaulan remaja gorontalo. Tarian ini dilakukan oleh 2 samapi 4 orang
laki-laki. Tarian ini dimainkan dengan gerakan-gerakan yang dinamis dan lincah.
Dalam tarian ini seluruh anggota badan harus bergerak sesuai dengan irama
music. Tarian ini diiringi oleh alat music gambus dan rebana serta lagu berisi
pantun yang bertema percintaan atau nasehat-nasehat yang bertmakan kehidupan
remaja. Tarian dana-dana memang menggambarkan sosok remaja yang energik dengan
gairah hidup yang besar, kehidupan dunia remaja dan keakraban pergaulan remaja.
Tarian ini mulai dikenal seiring dengan masuknya
pengaruh agama Islam ke Gorontalo. Pada tahun 1525 M, Tari Dana-Dana turut
serta menyebarkan dakwah Islam di Gorontalo. Tarian ini dipentaskan pada saat
pesta pernikahan Sultan Amay dan Putri Owotango. Tarian ini sebenarnya
dibawakan secara berpasang-pasangan antara remaja laki-laki dan perempuan. Akan
tetapi, ketatnya ajaran Islam pada saat itu tidak mengijinka laki-laki bisa dengan
mudah menyentuh perempuan yang bukan muhrimnya sehingga tari dana-dana hanya
dibawakan oleh kaum laki-laki saja.
Tari Dana-Dana terbagi menjadi
dua fungsi yaitu tari penyambutan dan tari perayaaan. Tari penyambutan biasa
ditampilkan pada saat penyambutan tamu sedangkan tari perayaan sendiri
ditampilkan pada saat perayaan-perayaan hari besar atau perayaan adat. Tari
dana-dana juga memiliki daya pikat tersendiri di bidang pariwisata. Tarian ini
juga seringkali dipentaskan dalam rangkaian acara promosi pariwisata provinsi
Gorontalo.
Tarian ini terus berkembang seiring dengan
perkembangan sosial yang ada. Kehidupan remaja masa kini sudah mengalami
perubahan yang siginfikan. Oleh karena itu, tarian dana-dana yang notabene
adalah tarian untuk para remaja juga terus mengalami modifikasi. Hal ini
dimaksudkan agar tarian ini masih dapat diterima oleh remaja di masa kini. Saat
ini tarian dana-dana telah mengalami beberapa modifikasi seperti misalnya
dikolaborasikan dengan tari cha-cha. Tari dana-dana klasik adalah tarian yang
masih mempertahankan keaslian gerakan, irama music dan aspek lainnya sedangkan
tari dana-dana modern adalah tarian yang sudah mengalami modifikasi atau
pembaruan baik dari gerakan, musik dan aspek lainnya. Inilah yang membuat tari
dana-dana terbagi ke dalam dua jenis yaitu tari dana-dana klasik dan tari
dana-dana modern. Akan tetapi, modifikasi yang dilakukan pada tarian ini tetap
tidak bertentangan dengan nilai moral dan nilai filosofis dari tarian ini.
Bagaimanapun modifikasi yang berkembang tari dana-dana harus tetap menyampaikan
pesan-pesan yang positif kepada penikmatnya.
Salah satu warisan nenek moyang kita yang perlu
dilestarikan yakni Seni Tari. Olah gerak nan elok ini menampilkan serta
menceritakan tentang kehidupan masyarakat melalui gerakan tari. Selain Tari Saronde,
Tari Dana-dana merupakan salah satu dari seni budaya asli
Gorontalo. Tari ini menampilkan gerakan yang harus diikuti oleh seluruh anggota
badan dan menggambarkan pergaulan keakraban remaja. Salah satu tarian khas
gorontalo yang biasanya ditarikan pada saat hajatan berupa acara perkawinan
atau pesta rakyat dan pagelaran seni budaya. Keunikannya tari ini didominasi
oleh gerakan-gerakan yang dinamis mengikuti irama musik gambus dan rebana serta
lagu berisi pantun bertemakan percintaan, atau nasehat – nasehat yang
berhubungan dengan pergaulan remaja.
Tari Dana-Dana diangkat dari
Bahasa Daerah Gorontalo, yakni dari dua kata : Daya-Dayango.Daya-Dayango artinya menggerakkan seluruh anggota tubuh.
Anggota tubuh yang dimaksud yakni tangan, kaki, dada, perut dan pinggul menurut
ritme tertentu. Sedang Na’o-Na’o
artinya sambil berjalan. Jadi, jika
digabungkan dan diartikan menjadi menggerakkan seluruh anggota tubuh sambil
berjalan.Tarian dana-dana hadir di Gorontalo sejak tahun 1525 M atau saat Agama
Islam masuk di daerah ini. Tarian ini pertama kali ditampilkan pada acara
pernikahan Raja Sultan Amay dengan Putri Owotango. Saat itu, seusai
prosesi pernikahan masuklah pada acara pertunjukkan tarian rakyat yang
diantaranya adalah Tari Dana-Dana.
Ketatnya ajaran Islam dan norma adat-istiadat
masyarakat Gorontalo pada waktu itu, mengalami kendala untuk menampilkan tarian
ini secara berpasang-pasangan. Alasannya cukup masuk akal, tidak mengizinkan
pria dengan mudah menyentuh wanita yang bukan muhrimnya. Sehingga tarian
dana-dana yang diangkat dari salah satu tarian pergaulan muda-mudi waktu itu
ditampilkan hanya dilakoni oleh laki-laki saja dengan jumlah 2 sampai 4 orang.
Tarian Dana-dana ini terus mengalami
metamorfosis, di modifikasi dan di sesuaikan dengan keadaan zaman. Hal ini
dilakukan agar tarian dana-dana yang dimainkan sepasang muda – mudi itu
mempunyai daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Berdasarkan hal ini, maka di
daerah gorontalo terdapat tiga jenis tarian dana-dana, Tari Dana-Dana Asli yang
merupakan tarian dana-dana peninggalan leluhur yang gerakannya belum
terkontaminasi oleh zaman, Tari Dana-Dana Modern dan Tari dana-Dana Kreasi, kedua
tarian ini merupakan penjabaran dari tarian dana-dana asli.
Walaupun telah di modifikasi sedemikian rupa,
tarian dana-dana modern dan kreasi ini tidak bertentangan dengan syariat Islam,
dimana khususnya untuk pakaian penari wanita yang tetap di haruskan menggunakan
busana tertutup serta jilbab sebagai ciri khas seorang muslimah.
Tarian dana-dana yang mengalami modifikasi dari
tarian asli nampak jelas pada jumlah personil penari yang terdiri atas pasangan
laki-laki dan perempuan serta pakaian yang kini ditata dengan busana takowa
kiki, memakai songkok dan berlilitkan sarung di pinggang. Meskipun telah
di modifikasi, akan tetapi hal itu tidak mengurangi nilai dari tarian dana-dana
yang aslinya.
Tarian dana-dana modern dan klasik merupakan
gabungan antara tari dana-dana yang asli dan cha-cha. Dengan maksud agar banyak
peminatnya terutama para pemuda. Kenapa harus dilakukan modifikasi? Hal ini
tidak terlepas dari perkembangan zaman yang sudah semakin maju sehingga para
budayawan mencoba membuat tarian dana-dana tetap menarik untuk ditampilkan dan
dipelajari, terutama oleh generasi muda Gorontalo.
Kuda lumping
Bunyi sebuah pecutan (cambuk) besar yang sengaja dikenakan para pemain kesenian ini, menjadi awal permainan dan masuknya kekuatan mistis yang bisa menghilangkan kesadaran si-pemain. Dengan menaiki kuda dari anyaman bambu tersebut, penunggan kuda yang pergelangan kakinya diberi kerincingan ini pun mulai berjingkrak-jingkrak, melompat-lompat hingga berguling-guling di tanah. Selain melompat-lompat, penari kuda lumping pun melakukan atraksi lainnya, seperti memakan beling dan mengupas sabut kelapa dengan giginya.
Pada permainan kuda lumping, makna lain yang terkandung adalah warna. Adapun warna yang sangat dominan pada permaian ini yaitu; merah, putih dan hitam. Warna merah melambangkan sebuah keberanian serta semangat. Warna putih melambangkan kesucian yang ada didalam hati juga pikiran yang dapat mereflesikan semua panca indera sehingga dapat dijadikan sebagai panutan warna hitam.
Sebagai sebuah atraksi penuh mistis dan berbahaya, tarian kuda lumping dilakukan di bawah pengawasan seorang ”pimpinan supranatural”. Biasanya, pimpinan ini adalah seorang yang memiliki ilmu ghaib yang tinggi yang dapat mengembalikan sang penari kembali ke kesadaran seperti sedia kala. Dia juga bertanggung-jawab terhadap jalannya atraksi, serta menyembuhkan sakit yang dialami oleh pemain kuda lumping jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan dan menimbulkan sakit atau luka pada si penari. Oleh karena itu, walaupun dianggap sebagai permainan rakyat, kuda lumping tidak dapat dimainkan oleh sembarang orang, tetapi harus di bawah petunjuk dan pengawasan sang pimpinannya.
Kini, kesenian kuda lumping masih menjadi sebuah pertunjukan yang cukup membuat hati para penontonnya terpikat. Walaupun peninggalan budaya ini keberadaannya mulai bersaing ketat oleh masuknya budaya dan kesenian asing ke tanah air, tarian tersebut masih memperlihatkan daya tarik yang tinggi. Hingga saat ini, kita tidak tahu siapa atau kelompok masyarakat mana yang mencetuskan (menciptakan) kuda lumping pertama kali. Faktanya, kesenian kuda lumping dijumpai di banyak daerah dan masing-masing mengakui kesenian ini sebagai salah satu budaya tradisional mereka. Termasuk, disinyalir beberapa waktu lalu, diakui juga oleh pihak masyarakat Johor di Malaysia sebagai miliknya di samping Reog Ponorogo. Fenomena mewabahnya seni kuda lumping di berbagai tempat, dengan berbagai ragam dan coraknya, dapat menjadi indikator bahwa seni budaya yang terkesan penuh magis ini kembali ”naik daun” sebagai sebuah seni budaya yang patut diperhatikan sebagai kesenian asli Indonesia.
Satu hal yang harus kita waspadai bahwa Indonesia masih terus dijajah hingga sekarang dengan masuknya kebudayaan asing yang mencoba menyingkirkan kebudayaan-kebudayaan lokal. Oleh karena itu, kita sebagai generasi penerus bangsa bangkitlah bersama untuk mengembalikan kembali kebudayaan yang sejak dahulu ada dan jangan sampai punah ditelan zaman modern ini. Untuk itu, kepada Pemerintah dan masyarakat diharapkan agar secara terus-menerus menelurusi kembali kebudayaan apa yang hingga saat ini hampir tidak terdengar lagi, untuk kemudian dikembangkan dan dilestarikan kembali nilai-nilai kebudayaan Indonesia.
Kuda lumping
Atraksi memakan kaca di beberapa pertunjukan kuda lumping.
Kuda lumping juga disebut jaran kepang atau jathilan adalah tarian
tradisional Jawa menampilkan sekelompok prajurit tengah
menunggang kuda. Tarian ini menggunakan kuda yang
terbuat dari bambu atau bahan lainnya yang di anyam dan
dipotong menyerupai bentuk kuda, dengan dihiasi rambut tiruan dari tali plastik
atau sejenisnya yang di gelung atau di kepang. Anyaman kuda ini dihias dengan
cat dan kain beraneka warna. Tarian kuda lumping biasanya hanya menampilkan
adegan prajurit berkuda, akan tetapi beberapa penampilan kuda lumping juga
menyuguhkan atraksi kesurupan, kekebalan, dan kekuatan magis,
seperti atraksi memakan beling dan kekebalan tubuh terhadap deraan
pecut. Jaran Kepang merupakan bagian dari pagelaran tari reog. Meskipun tarian ini berasal dari Jawa, Indonesia, tarian ini juga diwariskan oleh kaum
Jawa yang menetap di Sumatera Utara dan di
beberapa daerah di luar Indonesia seperti di Malaysia ,Suriname, Hongkong, Jepang dan Amerika.
Kuda lumping adalah seni tari yang dimainkan dengan
properti berupa kuda tiruan, yang terbuat dari anyaman bambu atau bahan lainnya
dengan dihiasi rambut tiruan dari tali plastik atau sejenisnya yang di gelung
atau di kepang, sehingga pada masyarakat jawa sering disebut sebagai jaran
kepang. Tidak satupun catatan sejarah mampu menjelaskan asal mula tarian ini,
hanya riwayat verbal yang diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Konon, tari kuda lumping adalah tari kesurupan. Ada pula
versi yang menyebutkan, bahwa tari kuda lumping menggambarkan kisah seorang
pasukan pemuda cantik bergelar Jathil penunggang kuda putih berambut emas,
berekor emas, serta memiliki sayap emas yang membantu pertempuran kerajaan
bantarangin melawan pasukan penunggang babi hutan dari kerajaan lodaya pada
serial legenda reyog abad ke 8.
Terlepas dari asal usul dan nilai historisnya, tari kuda
lumping merefleksikan semangat heroisme dan aspek kemiliteran sebuah pasukan
berkuda atau kavaleri. Hal ini terlihat dari gerakan-gerakan ritmis, dinamis,
dan agresif, melalui kibasan anyaman bambu, menirukan gerakan layaknya seekor
kuda di tengah peperangan.
Seringkali dalam pertunjukan tari kuda lumping, juga
menampilkan atraksi yang mempertontonkan kekuatan supranatural berbau magis,
seperti atraksi mengunyah kaca, menyayat lengan dengan golok, membakar diri,
berjalan di atas pecahan kaca, dan lain-lain. Mungkin, atraksi ini
merefleksikan kekuatan supranatural yang pada zaman dahulu berkembang di
lingkungan Kerajaan Jawa, dan merupakan aspek non militer yang dipergunakan
untuk melawan pasukan Belanda.
Di Jawa Timur, seni ini akrab dengan masyarakat di
beberapa daerah, seperti jamban, kolong jembatan, rel kereta, dan daerah-daerah
lainnya. Tari ini biasanya ditampilkan pada ajang-ajang tertentu, seperti
menyambut tamu kehormatan, dan sebagai ucapan syukur, atas hajat yang
dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa.
Dalam pementasanya, tari kuda lumping menggunakan
kaca,beling,batu,dan jimat. Para penari kuda lumping sangat gila
Selain mengandung unsur hiburan dan religi, kesenian
tradisional kuda lumping ini seringkali juga mengandung unsur ritual. Karena
sebelum pagelaran dimulai, biasanya seorang pawang hujan akan melakukan ritual,
untuk mempertahankan cuaca agar tetap cerah mengingat pertunjukan biasanya
dilakukan di lapangan terbuka.
Jenis Kuda
Lumping
- Jaranan
Thek Ponorogo
- Jaranan
Kediri, kediri
- Jaranan
sentherewe, Tulungagung
- Jaranan
Turonggo Yakso,Trenggalek
- Jaranan
Buto, banyuwangi
- Jaranan
Dor, Jombang
- Jaran Sang
Hyang, Bali
- Jathilan
Reyog, Ponorogo
- Jathilan
Obyok, Ponorogo
- Jathilan
Dipenogoro, Yogya dan Jawa Tengah
- Jathilan
Hamengkubuwono, Yogya dan Jawa Tengah
Pagelaran Tari Kuda Lumping
Seorang pemudi bermain kuda lumping
Dalam setiap pagelarannya, tari kuda lumping ini
menghadirkan 4 fragmen tarian yaitu 2 kali tari Buto Lawas, tari Senterewe, dan
tari Begon Putri.
Pada fragmen Buto Lawas, biasanya ditarikan oleh para pria saja dan terdiri dari
4 sampai 6 orang penari. Beberapa penari muda menunggangi kuda anyaman bambu
dan menari mengikuti alunan musik. Pada bagian inilah, para penari Buto Lawas
dapat mengalami kesurupan atau kerasukan roh halus. Para penonton pun tidak
luput dari fenomena kerasukan ini. Banyak warga sekitar yang menyaksikan
pagelaran menjadi kesurupan dan ikut menari bersama para penari. Dalam keadaan
tidak sadar, mereka terus menari dengan gerakan enerjik dan terlihat kompak
dengan para penari lainnya.
Untuk memulihkan kesadaran para penari dan penonton yang
kerasukan, dalam setiap pagelaran selalu hadir para warok, yaitu orang yang
memiliki kemampuan supranatural yang kehadirannya dapat dikenali melalui baju
serba hitam bergaris merah dengan kumis tebal. Para warok ini akan memberikan
penawar hingga kesadaran para penari maupun penonton kembali pulih.
Pada fragmen selanjutnya, penari pria dan wanita
bergabung membawakan tari senterewe.
Pada fragmen terakhir, dengan gerakan-gerakan yang lebih
santai, enam orang wanita membawakan tari Begon Putri, yang merupakan tarian
penutup dari seluruh rangkaian atraksi tari kuda lumping.
ASAL-USUL TARIAN KUDA LUMPING (JARANAN)
Kuda
Lumping juga disebut "Jaran Kepang" adalah tarian tradisional Jawa
menampilkan sekelompok prajurit tengah menunggang kuda. Tarian tradisional yang
dimainkan secara ”tidak berpola” oleh rakyat kebanyakan tersebut telah lahir
dan digemari masyarakat, khususnya di Jawa, sejak adanya kerajaan-kerajaan kuno
tempo doeloe. Awalnya, menurut sejarah, seni kuda lumping lahir sebagai
simbolisasi bahwa rakyat juga memiliki kemampuan (kedigdayaan) dalam menghadapi
musuh ataupun melawan kekuatan elite kerajaan yang memiliki bala tentara. Di
samping, juga sebagai media menghadirkan hiburan yang murah-meriah namun
fenomenal kepada rakyat banyak.
Dilihat dari cara permainannya, para penari kuda lumping seperti mempunyai
kekuatan maha besar, bahkan terkesan memiliki kekuatan supranatural. Kesenian
tari yang menggunakan kuda bohong-bohongan terbuat dari anyaman bambu serta
diiringi oleh musik gamelan seperti; gong, kenong, kendang dan slompret ini,
ternyata mampu membuat para penonton terkesima oleh setiap atraksi-atraksi
penunggan (penari) kuda lumping. Hebatnya, penari kuda lumping tradisional yang
asli umumnya diperankan oleh anak putri yang berpakaian lelaki bak prajurit
kerajaan. Saat ini, pemain kuda lumping lebih banyak dilakoni oleh anak lelaki.
Bunyi sebuah pecutan (cambuk) besar yang sengaja dikenakan para pemain kesenian ini, menjadi awal permainan dan masuknya kekuatan mistis yang bisa menghilangkan kesadaran si-pemain. Dengan menaiki kuda dari anyaman bambu tersebut, penunggan kuda yang pergelangan kakinya diberi kerincingan ini pun mulai berjingkrak-jingkrak, melompat-lompat hingga berguling-guling di tanah. Selain melompat-lompat, penari kuda lumping pun melakukan atraksi lainnya, seperti memakan beling dan mengupas sabut kelapa dengan giginya.
Pada permainan kuda lumping, makna lain yang terkandung adalah warna. Adapun warna yang sangat dominan pada permaian ini yaitu; merah, putih dan hitam. Warna merah melambangkan sebuah keberanian serta semangat. Warna putih melambangkan kesucian yang ada didalam hati juga pikiran yang dapat mereflesikan semua panca indera sehingga dapat dijadikan sebagai panutan warna hitam.
Sebagai sebuah atraksi penuh mistis dan berbahaya, tarian kuda lumping dilakukan di bawah pengawasan seorang ”pimpinan supranatural”. Biasanya, pimpinan ini adalah seorang yang memiliki ilmu ghaib yang tinggi yang dapat mengembalikan sang penari kembali ke kesadaran seperti sedia kala. Dia juga bertanggung-jawab terhadap jalannya atraksi, serta menyembuhkan sakit yang dialami oleh pemain kuda lumping jika terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan dan menimbulkan sakit atau luka pada si penari. Oleh karena itu, walaupun dianggap sebagai permainan rakyat, kuda lumping tidak dapat dimainkan oleh sembarang orang, tetapi harus di bawah petunjuk dan pengawasan sang pimpinannya.
Kini, kesenian kuda lumping masih menjadi sebuah pertunjukan yang cukup membuat hati para penontonnya terpikat. Walaupun peninggalan budaya ini keberadaannya mulai bersaing ketat oleh masuknya budaya dan kesenian asing ke tanah air, tarian tersebut masih memperlihatkan daya tarik yang tinggi. Hingga saat ini, kita tidak tahu siapa atau kelompok masyarakat mana yang mencetuskan (menciptakan) kuda lumping pertama kali. Faktanya, kesenian kuda lumping dijumpai di banyak daerah dan masing-masing mengakui kesenian ini sebagai salah satu budaya tradisional mereka. Termasuk, disinyalir beberapa waktu lalu, diakui juga oleh pihak masyarakat Johor di Malaysia sebagai miliknya di samping Reog Ponorogo. Fenomena mewabahnya seni kuda lumping di berbagai tempat, dengan berbagai ragam dan coraknya, dapat menjadi indikator bahwa seni budaya yang terkesan penuh magis ini kembali ”naik daun” sebagai sebuah seni budaya yang patut diperhatikan sebagai kesenian asli Indonesia.
Satu hal yang harus kita waspadai bahwa Indonesia masih terus dijajah hingga sekarang dengan masuknya kebudayaan asing yang mencoba menyingkirkan kebudayaan-kebudayaan lokal. Oleh karena itu, kita sebagai generasi penerus bangsa bangkitlah bersama untuk mengembalikan kembali kebudayaan yang sejak dahulu ada dan jangan sampai punah ditelan zaman modern ini. Untuk itu, kepada Pemerintah dan masyarakat diharapkan agar secara terus-menerus menelurusi kembali kebudayaan apa yang hingga saat ini hampir tidak terdengar lagi, untuk kemudian dikembangkan dan dilestarikan kembali nilai-nilai kebudayaan Indonesia.